Suara Purwokerto - Practical Parenting:
Polisi Baik vs Polisi Nakal
Anak-anak memiliki daya ingat dan perasaan yang sangat tajam. Sayangnya, masih saja tersua orang tua yang tak melihat sadari hal itu karena mata (hati) mereka terpejam. Berikut ilustrasi sekaligus pejelasannya.
Suatu petang, saya mengajak cucu saya Icha (3 tahun) untuk mengambil sesuatu yang tertinggal di kantor. Setelah sepeda motor aku parkir di halaman kantor, kubiarkan Icha berlarian meninggalkan diriku di belakang. Aku pikir dia sudah tahu posisi (ruangan) kantorku.
Sesampai di depan pintu masuk utama, aku hanya menjumpai penjaga kantor (sebutlah Yanto). Kutengok kanan dan kiri, aku tak melihat Icha di sana. Maka, aku tergopoh mencarinya ke sekitar halaman. Kucari ke sana kemari, tak jua kutemukan Icha.
Dengan langkah sedikit panik, aku menuju ke tempat parkir. Betapa terkejut diriku, kutemukan Icha tengah meringkuk di atas jok sepeda motor yang kuparkir. Dia tampak ketakutan, dan menolak ketika aku tawarkan untuk menggendongnya. "Enggak mau! Enggak mau!"
Aku tak habis pikir, kenapa dia bisa berubah 180 derajat. Seingatku, tadi ia sangat antusias untuk ikut ketika aku pamitan untuk mengambil laptop yang tertinggal di kantor. Lagi pula, punggungku adalah tempat gendongan favorit baginya. Tapi kenapa, kali ini ia menolak keras untuk kugendong meskipun sudah tiga-empat kali kubujuk.
Maka, aku putuskan untuk pulang saja dan tak jadi mengambil laptop yang tertinggal sore itu. Ketika motor mulai aku starter, Icha bergelayut ke tubuhku sambil berucap lirih, "Icha takut, tadi ada polisi!"
Kalimat yang terucap sore itu,bsungguh membuatku penasaran. Kembali terngiang di telinga sepanjang perjalanan ke rumah: "Icha takut, tadi ada polisi!"
Aku berpikir keras, kenapa tiba-tiba cucuku Icha sangat ketakutan dengan sosok polisi. Seingatku, tadi di kantor kami hanya ada Yanto; petugas jaga sore itu. Apakah postur Yanto yang tinggi-hitam itu menyeramkan bagi Icha. Tetapi kenapa ada embel-embel kata "polisi" pada kalimat yang terucap oleh Icha sore itu.
Setelah kulakukan penyelidikan intensif selama dua hari dua malam, akhirnya kutemukan jawaban atas teka-teki itu: "Icha takut, tadi ada polisi!"
Ya, saya pastikan ada sesuatu kesalahan umum yang acap kali dilakukan orang tua kepada anak. Termasuk yang kali ini menimpa Icha.
Saat seorang anak menangis, orang tua seringkali mencari jalan pintas bagaimana caranya agar tangis anak segera reda. Kalimat yang terucap sangat standar: "Jangan rewel, nanti ada polisi! Jangan nakal, nanti ada polisi!"
Memang kalimatnya kedengaran biasa-biasa saja. Tapi, tahukah Anda dampak kalimat seperti ini. Sungguh sebuah kalimat yang sangat destruktif bagi perkembangan jiwa anak. Sebab, dengan kalimat seperti ini, sama halnya Anda melakukan "teror psikologis" kepada anak Anda sendiri.
Tak hanya di situ dampak kalimat yang Anda ucapkan. Pasalnya, secara tak sadar Anda juga telah melakukan stigmatisasi (negatif) tentang sosok polisi di mata anak.
Atas kejadian di tersebut, saya berjuang keras menanamkan rasa percaya diri kepada cucuku Icha: tidak perlu takut kepada siapapun, termasuk polisi!
Dan, alhamdulillah apa yang saya lakukan buahkan hasil sangat positif. Setiap kali bepergian dengan Icha, saya sesekali berbincang dan bertegur sapa dengan petugas (polisi, satpam) yang kami jumpai. Kini, manakala Icha melihat sosok polisi yang kami jumpai, ia punya keberanian menyampaikan semacam permintaan: "Kung! Boleh foto sama polisi itu, Kung?"
Sekadar catatan, Kung adalah panggilan akrab Icha kepadaku. Sungguh di luar dugaan, Icha kini punya konsep dan bisa berucap: "Polisi teman-teman Akung itu polisi baik! Polisi teman Bapak itu polisi nakal!"
Sebetulnya, saya ingin memulihkan rasa percaya diri Icha sehingga tidak takut lagi kepada polisi. Tak pernah memberikan klasifikasi: polisi baik dan polisi nakal.
Betapapun, fokus perjuangan saya adalah berupaya memupuk rasa "self-confidence" pada diri Icha sehingga tidak merasa takut kepada siapapun. Tentu saja, rasa hormat dan empati kepada orang lain tetap saya tanamkan.
Ketika liburan Idul Fitri di Kota Blora tempo hari, misalnya, ada sebuah pengalaman sangat berharga bagi saya dan Icha. Ketika melintas di alun-alun kota, kubopong Icha dan melintasi seorang polisi yang sedang bertugas mengatur lalu lintas. Saat itu, secara reflek saya tuntun Icha untuk berucap: "Selamat Lebaran Pak Polisi! Selamat Bertugas!"
Lalu, saya ajak ia bersalaman, dan sama-sama mengangkat dan menepukkan tangan, sembari berujar: toss!
Kini, setiap kali Icha hendak tidur di rumah kami, ia fasih bercerita, "Kung, di Blora kemaren Icha salaman sama Pak Polisi. Icha juga toss sama Pak Polisi. Polisi teman Akung, baik ya Kung?"
Sebuah rangkaian kalimat cerdas dan apresiatif dari seorang balita. Fragmen yang tak pernah kubayangkan, dan itu outcome sebuah perjuangan. Nah!