Profil

Habib Luthfi: Urgensi Catatan Sejarah

Selasa, 12 April 2022 15.10

Suara Purwokerto - Minggu Pon, 28 November 2021, sekira pukul 09.42 WIB, handphone saya berdering. Ada panggilan masuk dari Wakil Bupati Sadewo.

“Mas, besok ikut tim untuk wawancara dengan Habib Luthfi di Pekalongan. Saya didhawuhi untuk menyusun buku tentang Mbah Malik. Saya kemutan panjenengan suka nulis buku,” kata Wabup Sadewo lewat sambungan telpon. 

Saya waktu itu hanya berkata pendek, “Nggih, Insya Allah!”

Dan, kesempatan itu pun tiba. Saya bertemu dan wawancara langsung dengan Habib Luthfi di Pekalongan pada Jumat Pahing, 17 Desember 2021. Turut serta mendampingi saya ada Gus Adi (Kedungparuk), Mas Dofir, H Ratimin dan Munir Sarbini.
Sayang sekali wawancara di Pekalongan itu terpotong saking banyaknya tamu, sehingga mesti dijadwalkan kembali untuk wawancara lanjutan. 

Hal penting yang saya catat dari Habib Luthfi adalah dhawuh beliau: “Nulis sejarah itu tak boleh tergesa-gesa. Tolong luruskan (catatan) sejarah seputar Mbah Ilyas!”

Saya sungguh tersanjung mendapat dhawuh beliau. Sebuah tugas berat (baca: serius) yang tak pernah saya bayangkan sebelumnya. Ada beberapa pointer penting yang saya catat dalam rangka “pelurusan sejarah” tersebut. 

Sekembali dari Pekalongan, saya pun mulai berburu literatur tentang Pangeran Diponegoro. Untuk diketahui, ayah Mbah Malik (Mbah Ilyas) adalah cicit Pangeran Diponegoro. Bahkan, dapat dipastikan, beliau adalah cicit tertua dari garis putra tertua Pangeran Diponegoro. 

Sepulang dari Pekalongan, saya mulai menyelisik referensi terkait sejarah Pangeran Diponegoro. Sejumlah buku yang cermati antara lain: Babad Dipanegara, Kuasa Ramalan (3 jilid), dan Takdir. Dua judul terakhir adalah karya Peter Carey, sejarawan Inggris kelahiran Burma.

Dalam rangka pelurusan sejarah, saya pun hunting ke lapangan dan melakukan wawancara dengan sejumlah narasumber. Untuk merevisi nama Abubakar bin Yahya, misalnya, saya harus harus bolak-balik ke Ngasinan –sebuah pedukuhan di Desa Kaliwedi, Kecamatan Kebasen, Kabupaten Banyumas. 

Ternyata, untuk merevisi sebuah nama saja butuh waktu dan diskusi dengan narasumber. Informasi di lapangan cukup meyakinkan, saksi hidup masih ditemukan, dan saya pun akhirnya secara yakin berkesimpulan: nama Kiai Abubakar bin Yahya, yang selama ini disebut-sebut guru sekaligus mertua Mbah Malik tidak tersua; sosok yang sesuai realita adalah Kiai Umar bin Ali Mukmin.

Ini baru salah satu revisi di seputar nama Guru Mbah Malik, belum pada revisi di seputar Mbah Ilyas. 

Ada hal-hal yang terasa berlebihan ketika orang bertutur tentang usia Mbah Ilyas. Ada yang menyebut usianya 170 tahun, ada yang secara implisit menyebut 151 tahun, dan lain sebagainya. Adapun kesimpulan sementara saya, usia Mbah Ilyas adalah 78-an tahun.

Saya sebetulnya ingin sekali beradu data atau argumen dengan pihak-pihak yang menyebut 170 atau 151 tahun. Tapi, ketika saya coba telusur, rupa-rupanya data itu ditulis hanya berdasarkan ‘qiila wa-qool’ alias ‘katanya dan katanya’. Inilah tantangan yang sedang saya urai untuk pelurusan sejarah tesebut. 

Terkait hal itu, saya pun harus melacak guru dan sanad tarekat Mbah Ilyas. Dua buku karya Martin van Bruinessen (Kitab Kuning dan Tarekat Naqsabandiyah di Indonesia) pun kembali saya cermati. 

Dengan susah payah, saya berusaha mendapatkan data penting tentang masa hidup maupun wafat guru-guru mursyid Tarekat Naqsabandiyah, terutama Syekh Sulaiman Qarimi dan Syekh Sulaiman Zuhdi -dua khalifah terkemu di Jabal Abi Qubais Makkah pada zamannya.

Saya mencoba cari informasi itu dengan mengirim pesan via WA ke sejumlah akademisi di UIN. Hasilnya nihil. 

Posisi terkini, setidaknya dua data angka tahun (1854; 1891) saya temukan pada dua karya ilmiah yang terselinap di dunia maya. Kini saya merasa sedikit lega, dan bersiap-siap kembali menata energi untuk meluruskan catatan sejarah yang bengkok itu. (*)

Penulis: Akhmad Saefudin SS ME

Editor: Ismer

Berita Terkait

Copyright ©2024 Suara Purwokerto. All Rights Reserved

Version: 1.23.3 | Build ID: FHBRa1vRFd-dgFqX1RoWX