Suara Purwokerto - Kalau belum makan nasi, kita pada umumnya menyebut diri belum makan; meskipun sudah makan soto, kupat tahu, ato gado-gado dua porsi sekalipun. Menurut hematku, kekeliruan ini sangat terkait dengan pola pikir (mindset) yang terbentuk secara turun-temurun. Ironisnya, kita juga ikut andil di dalam pembentukan sekaligus pewarisan mindset tersebut. Ketika seharian anak (balita) belum makan nasi, pada umumnya orang tua berupaya keras menjejalkan "nasi" kepada si anak. Maka, lambat-laun dalam diri sang anak akan tertanam pikiran bahwa: saya belum makan nasi, maka saya belum makan.
Penulis sendiri belum melakukan kajian komprehensif, sebatas pengamatan kecil-kecilan. Jadi, sekira simpulan akhir tulisan ini menurut Anda keliru, atau Anda punya pikiran dan pendapat yang berbeda, maka itu sah-sah saja.
Mari kita simak dan praktikkan ilustrasi berikut. Sesekali, katakanlah satu hari saja dari seminggu, biarkan anak Anda makan selain nasi. Anda bisa menyajikannya soto, tahu kupat, gado-gado atau menu lain sebagai pengganti nasi. Katakan kepada si anak: Nak, kamu boleh makan ini sebagai pengganti nasi; jadi, sore ini kamu boleh tidak makan nasi. Kurasa, anak akan bersuka cita mendengar dan memperoleh penjelasan Anda tersebut. Alih-alih harus terus-menerus menyuapi sang anak sembari naik sepeda atau berlarian kesana-kemari, berikanlah menu alternatif yang kusampaikan barusan.
Dengan memberikan menu alternatif pengganti nasi, meskipun hanya sesekali alias kadang-kadang, maka akan tertanam di benak anak tentang pola berpikir alternatif. Nasi memang makanan pokok, tetapi makanan pokok sekalipun tetap ada alternatif penggantinya. Oleh karena itu, ketika anak sudah makan jagung atau kentang, kita tak perlu repot-repot memaksanya untuk makan nasi. Sesekali boleh Anda tawarkan kepada anak-anak, kapan sekira mereka berkenan makan ubi, jagung, kentang, atau roti tawar: sebagai pengganti nasi.
Ketika ibu bepergian dan belum kunjung pulang, saya yakin pada saatnya anak tidak lagi gamang untuk menyiapkan kebutuhan makan untuk dirinya. Tidak ada nasi, ia dapat mencari alternatif apa yang ada di rumah, mie telor atau roti bolen dan segelas susu pun cukup. Dengan kata lain, ada pemicu dalam diri anak untuk berkreasi dan sekaligus berlatih mengurus dirinya untuk lebih mandiri.
Perlu dicatat, dalam memberikan alternatif menu pengganti makanan pokok (nasi), orang tua tentu tidak boleh sembarangan. Orang tua mestilah cerdas. Makanan tertentu dan substitusinya mestilah memiliki kandungan gizi yang sejenis alias setara, apakah itu karbohidrat, protein, vitamin, atau lemak yang diperlukan oleh tubuh. Dan, tentunya ini perlu dasar atau referensi ilmiah.
Pola berpikir alternatif tidak saja relevan dicapai lewat pengenalan (praktik) konsumsi substitusi makanan pokok. Upaya lain dapat diterapkan dalam praktik kehidupan sosial secara luas. Jika anak biasa diantar naik motor atau mobil ke sekolah, pun sekali waktu mereka perlu mencoba merasakan romantika naik angkutan umum, bukan?
Tatkala hujan tak kunjung reda dan di rumah tak tersedia mantel atau payung, alternatif keluar rumah dengan topi plastik pun tak masalah. Ketika suatu waktu ban sepeda pribadi bocor atau kempis, ke sekolah berjalan kaki disambung naik angkutan umum pun tak jadi soal. Dan seterusnya.
Jika pola berpikir alternatif sudah dibiasakan dalam keseharian, maka anak cenderung dapat menemukan solusi alternatif pada saat menghadapi kondisi darurat. Ketika hujan turun dan tak kunjung reda, dan jemputan sekolah tak kunjung datang, ia dapat mengambil putusan terbaik: (1) beli plastik untuk tutup kepala dan pulang jalan kaki; atau, (2) naik becak bersama teman terdekat rumah.
Secara teoretis, sedikitnya ada empat faktor yang mempengaruhi pola pikir seseorang, yaitu lingkungan keluarga, pergaulan di masyarakat, pendidikan, dan sistem kepercayaan atau keyakinan.
Wa ba'du. Penulis optimis, pengenalan sekaligus penerapan pola berpikir alternatif akan menumbuhkan pribadi-pribadi yang kreatif, dinamis, dan pantang menyerah. Nah!