Suara Purwokerto - Memuliakan seorang anak, dalam berbagai dimensinya, dapat dirunut dari berbagai sabda Rasulullah. Muliakanlah anak-anak kalian. Maka sesungguhnya barangsiapa memuliakan anak, Allah akan memuliakannya di dalam surga . Ada pula hadits lain yang senada, yakni: Muliakanlah anak-anak kalian, karena sesungguhnya memuliakan anak adalah penghalang dari api neraka.
Setidaknya, kedua hadits di atas tersua di dalam Lubabul Hadits karya Imam Suyuthi (1445-1505), yakni pada bab ke-31. Dalam kitab tersebut, As-Suyuthi menyajikan sejumlah hadits yang membahas hak-hak anak. Tidak diragukan lagi, betapa Islam meneguhkan urgensi pendidikan anak dengan penuh kasih sayang serta penghormatan.
Keharmonisan hubungan antara orang tua dan anak mendapat perhatian begitu serius dalam ajaran Islam. Betapa tidak? Kebersamaan di meja makan saja sangat dianjurkan, sampai-sampai digambarkan sebagai tameng (baca: penghalang) dari panasnya siksa neraka. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW, Anak-anak adalah pelindung dari neraka, dan makan bersama mereka membebaskan(mu) dari api neraka... (Al Hadits).
Lantas, apa contoh praktis yang termasuk perilaku memuliakan anak dalam kehidupan sehari-hari?
Ternyata, memandang wajah anak kita, masuk dalam kriteria ini. Sebagaimana sabda Rasulullah, Memandang wajah anak dengan penuh rasa syukur itu bagaikan (seseorang) memandang wajah nabinya.
Belakangan ini penulis mencermati, ulama asal Rembang yang serius menyampaikan kampanye (baca: pesan) tentang pentingnya memuliakan anak. Beliau tak lain adalah KH Ahmad Bahauddin Nursalim atau akrab disapa Gus Baha, yang kini videonya tengah viral.
Dalam berbagai ceramahnya Gus Baha menyatakan, Saya ndak akan bosen ngomong ini sampai saya mati; wung tuwo iku kudu hormat anak (Saya tidak akan bosan menyampaikan pesan ini hingga saya mati; orang tua itu harus hormat kepada anak).
Diterangkan dalam kitab Mizan Al-Kubro, seperti dikutip Gus Baha: wamin adabil anbiya, akrimul aulad (memuliakan anak adalah akhlak para nabi). Gus Baha mengaku, andaikan pantas ia akan basa (Jawa: boso kromo) kepada anak; sebaliknya, anak tidak perlu basa kepada dirinya. Hanya saja, menurut Gus Baha, hal ini tak popular di kalangan masyarakat Jawa.
Betapapun, hubungan antara orang tua dan anak haruslah nyaman. Betapapun, anak kita adalah generasi yang akan meneruskan kalimat tauhid di masa depan.
Meneladani Rasulullah
Lagi-lagi, perihal kasih sayang kepada anak-cucu dicontohkan secara nyata oleh Rasulullah. Marilah cermati dan renungkan dua hadits berikut.
Anas ibnu Malik RA berkata: Aku tak pernah melihat seorangpun yang lebih sayang kepada anak-anak daripada Rasulullah SAW. Putra beliau (yang bernama) Ibrahim punya ibu susuan di daerah Awaali (Kota Madinah). Maka Nabipun berkunjung ke sana dan kami bersama beliau. Lalu, beliau masuk ke dalam rumah yang di dalamnya penuh asap. Suami Ibu susuan Ibrahim adalah seorang pandai besi. Nabi pun mengambil Ibrahim lalu menciumnya, kemudian beliau kembali (HR Muslim).
Abu Hurairah RA berkata, Rasulullah SAW mencium Hasan bin Ali, sementara di sisi beliau ada Al-Aqra bin Haabis At-Tamimy sedang duduk. Maka Al-Aqra berkata, Aku punya sepuluh orang anak, tidak seorangpun dari mereka yang pernah kucium . Maka Rasulullah SAW memandangi Al-Aqra, lalu beliau bersabda, Barangsiapa yang tidak merahmati (menyayangi), maka ia tidak akan dirahmati (HR Bukhari).
Bersalaman dan mencium tangan merupakan hal lazim di kalangan santri dan masyarakat Jawa. Anak mencium tangan orang tua; santri mencium tangan sang kiai atau ulama.
Suatu ketika di Rabu sore, medio tahun 2017, penulis hadir di Majlis Shalawat Ahbabul Musthofa asuhan Habib Syech bin Abdul Qadir Assegaf di Surakarta. Saya melihat Habib Syech dengan sabar melayani jamaah yang antre untuk bersalaman satu persatu. Penulis cukup terkejut, ketika beliau mengelus kepala serta mencium tangan anak balita yang ada dalam gendongan salah satu jamaah.
Pertama kali melihat Habib Syech mencium tangan anak balita, saya berpikir mungkin itu adalah cucu Habib Syech yang muncul di tengah-tengah jamaah. Betapapun, pikiran itu keliru setelah penulis hadir yang kedua dan ketiga kali di majlis yang sama. Habib Syech memang mengelus kepala dan mencium tangan anak-anak balita yang ada dalam gendongan jamaah.
Ternyata, figur Habib Syech yang kharismatik dan jamaah berebut untuk bersalaman itu adalah sosok yang sangat humanis. Melihat wajah Habib Syech yang memancarkan kesejukan dan kedamaian, penulis pun segera membayangkan wajah Rasulullah sang panutan umat di segala zaman. (*)