Suara Purwokerto - TEMANGGUNG Kehilangan pendengaran, bukan berarti kehilangan hati untuk menginspirasi orang banyak, agar menjadi masyarakat yang lebih terbuka pada difabel. Berbekal keinginan ini, Fenny Ayuningtyas (34), penyandang tuli yang menjadi guru di SLB Negeri Temanggung ini, berupaya memperluas akses untuk kaumnya dengan memberikan pendidikan bahasa isyarat.
Salah satu bentuk edukasi bahasa isyarat dibuat Fenny dalam bentuk video. Bahasa isyarat dalam pandangan perempuan asal Salatiga ini amat membantu orang-orang tuli yang susah berkomunikasi. Serta memudahkan masyarakat luas untuk memahami komunikasi dengan disabilitas.
Kesehariannya, guru kelas 10 SLB N Temanggung ini memang secara khusus mengajar bahasa isyarat di sekolah. Ia juga memberikan tutorial bahasa isyarat di lembaga lain, seperti di pelajaran bahasa isyarat untuk staf pengadilan.
Saya ingin terus belajar, juga ingin menjadi guru yang baik dan menginspirasi, ujar Fenny, saat ditemui, Jumat (26/6/2021).
Isteri dari Bandung Triasmoro Bayu Ajie (40) ini mengalami tuli sejak usianya masih dua tahun. Ketika itu, Fenny kerap diasuh asisten rumah tangga lantaran orang tuanya sibuk bekerja. Suatu hari ia mengalami panas tinggi hingga keluar nanah dari telinganya. Karena tidak ada alat komunikasi waktu itu, pengasuhnya kesulitan menghubungi orang tua Fenny. Dia terlambat dibawa ke dokter untuk diobati.
Panas tinggi yang saya alami juga dianggap sakit panas biasa, sehingga tidak langsung dibawa ke dokter, katanya.
Hari berikutnya tiba-tiba Fenny tidak bisa merespon suara dari sekelilingnya, karena pendengarannya hilang. Dokter menyatakan syaraf pendengarannya putus dan Fenny mengalami tuli, karena total sudah tidak bisa mendengar. Fenny mengaku tidak lagi mengingat memori masa itu. Namun ia bisa merasakan lingkungan keluarga dan tetangga bisa menerima kehadirannya yang tiba-tiba menjadi tuli. Untungnya, sebelum itu ia telah bisa berbicara, sehingga ia bisa memahami ucapan orang lain dengan melihat, mengamati gerak bibir mereka.
Umur lima tahun, Fenny mulai masuk sekolah berasrama di SLB Dinaupakara Kabupaten Wonosobo. Di sana ia diajari artikulasi atau biasa disebut bahasa orang, atau disebut juga bahasa verbal. Ia juga belajar bahasa ibu, yakni bahasa sehari-hari di rumah, seperti menunjuk atau menyebutkan ibu, bapak, makan, dan mandi. Bahasa ibu ini lebih tepat disebut bahasa isyarat.
Misalnya ketika tangan melengkung di atas bibir untuk menggambarkan kumis artinya bapak. Tangan menunjuk anting di telinga untuk menggambarkan sosok ibu, dan isyarat lainnya, tutur Fenny.
Merasa mampu bersaing dengan anak-anak dengar, sekitar tahun 2001, bungsu dari tiga bersaudara anak pasangan Yahya Syarif dan Tanti Widatini ini memutuskan masuk sekolah umum, yakni SMP Negeri 6 Salatiga, yang tidak jauh dari rumahnya di daerah Ledok. Sempat ditolak, akhirnya Fenny diterima setelah menyertakan surat rekomendasi dari Dinas Pendidikan setempat.
Tahun pertama bersekolah di SMP 6 Salatiga ternyata hasilnya di luar dugaan. Meski sempat diragukan kemampuannya, saya malah meraih ranking lima besar di kelas. Hasil itu membuat saya percaya diri, karena lebih bagus dari murid yang dengar. Para guru juga mengakui kemampuan saya, ujarnya.
Hanya saja di sekolah itu Fenny kerap di- bully teman-temannya, karena hanya ia sendiri yang tuli. Mereka kerap mengolok dengan kalimat Fenny tidak bisa bicara . Fenny juga diberi tempat duduk paling depan dengan bangku sebelahnya dikosongkan.
Alasan lain Fenny ditempatkan duduk di deretan bangku paling depan adalah karena ia punya keterbatasan, sehingga dianggap tidak bisa mengikuti pelajaran. Faktanya, tiap kali ada pelajaran dikte, nilai Fenny selalu paling bagus. Sebab, ia pernah mendapat pelajaran artikulasi ketika masih bersekolah di SLB Wonosobo. Dia pun makin percaya diri.
Sekitar tahun 2004 setelah lulus SMP, lagi-lagi Fenny menunjukan kemampuannya yang lebih dari anak dengar lainnya. Ia diterima masuk SMA Favorit di Salatiga. Di sekolah favorit itu menurut Fenny ia bergaul dengan anak-anak pintar, sehingga mereka lebih bisa menghargai orang disabilitas. Karenanya ia tidak mengalami perundungan seperti di SMP. Fenny masuk jurusan IPA.
Waktu kecil sebenarnya saya bercita cita ingin jadi dokter gigi. Namun akhirnya saya mengikuti arahan kepala SLB di dekat rumah saya untuk masuk jurusan PLB di UNY supaya bisa mengajar anak-anak tuna rungu dengan bahasa isyarat, terangnya.
Ibu dua anak ini kemudian masuk jurusan Pendidikan Luar Biasa (PLB) di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) Tahun 2009. Ia menyelesaikan kuliah lebih cepat dalam 3,5 tahun dengan judul skripsi Penggunaan Bahasa Isyarat Lokal untuk Meningkatkan Interaksi Sosial di SLB Wiyata Dharma Sleman .
Lulus dari UNY pada 2013 Fenny mengabdi sebagai guru honorer di SLB N Salatiga, tak jauh dari rumahnya. Ketika itu ia menerima honor sebesar Rp175 ribu per bulan. Bagi Fenny, tak mengapa digaji kecil, yang penting ia bisa membantu anak-anak tuli.
Ia mengajar dengan sabar dan telaten selama lima tahun. Beberapa kali ia sempat mengikuti tes CPNS, namun baru berhasil lolos tahun 2019 dari kuota khusus disabilitas untuk Kementerian Pendidikan dengan penempatan di SLB N Temanggung. Fenny terus mengajarkan kemandirian kepada anak didiknya, termasuk memberi bekal keterampilan merajut yang hasilnya bisa dijual.
Bagi Fenny, menjadi tuli bukan berarti bodoh, bukan berarti kurang. Orang tuli tetap bisa setara dengan orang dengar dan bisa bekerja sama. Tuli hanya butuh aksebilitasi melalui komunikasi dengan bahasa isyarat dan lisan. Hal itu ia kampanyekan melalui sosial media. Demi kesetaraan ini pula, Fenny bergabung dengan komunitas Gerkatin atau Gerakan Kesejahteraan Tuna Rungu Indonesia. Komunitas ini gencar melakukan sosialisasi bahasa isyarat.