Budaya

KOLOM EDI SANTOSO

Rabu, 17 April 2024 16.20

   RITUAL BUDAYA

Lebaran sudah berlalu. Kehidupan kembali berangsur normal. Mereka yang mudik sudah balik. Yang kerja kembali bekerja seperti biasa.

Di Indonesia, lebaran memang istimewa. Sudah menjadi peristiwa budaya dan hampir semua orang terlibat, apapun agamanya. Dampak ekonominya pun luar biasa--setidaknya dalam jangka pendek. Konon, perputaran uang selama lebaran mencapai lebih dari Rp 157 triliun.

Sebagai budaya, lebaran akan terus berdinamika dengan warna-warninya. Seperti di kampung saya, acara takbiran kini berubah menjadi kontes adu gengsi. Dulu, kami takbir keliling dengan membawa obor. Kini, takbir keliling dilakukan dengan truk-truk ber-sound horeg. Suaranya menggelegar, bisa memecahkan kaca. Alunan takbirnya tak lagi merdu mendayu, tetapi jedag-jedug DJ ala diskotik.

Banyak yang mengurut dada, tentu saja. Harga sewa sound horeg tidak bisa dibilang murah. Ada yang mendatangkan dari luar daerah dengan biaya sewa di atas Rp 30 juta. Ada sponsornya, orang setempat. Demi gengsi, katanya.

Tren ini memang kadang kebablasan. Di Kabupaten Demak, seorang kades dan beberapa warga harus berurusan dengan polisi gara-gara merusak pembatas jembatan, demi truk sound horeg yang didatangkan dari Jawa Timur bisa lewat.

Rasanya tak berlebihan menyebut mudik sebagai ritual terbesar di negeri ini. Perpindahan massal—meski hanya beberapa hari, itu selalu menyita energi nasional. Bagaimana tidak, hampir 200 juta orang ikut memenuhi jalananan antarpropinsi, antarpulau. Selalu ada drama. Selalu ada korban. Tetapi selalu bertambah jumlah orang mudik setiap tahunnya.

Memang sebagai ritual, sebuah kegiatan selalu dilakukan berulang, dengan beragam maknanya. Semangat besarnya adalah silaturahmi, tapi bagi pribadi-pribadi yang menjalaninya tentu tak sesederhana itu. Sebuah penelitian oleh seorang dosen UIN Saizu Purwokerto mengungkapkan lapis-lapis makna mudik, mulai dari yang berdimensi spiritual, primordial, hingga eksistensial.

Bagi orang Jawa misalnya, ikatan dengan kampung halaman itu berasa sakral. Sejauh apapun orang merantau, tempat kembali terbaik adalah tempat dulu dia dilahirkan. Makna eksistensial tergambar dari realitas bahwa mudik adalah kesempatan untuk menunjukkan keberhasilan hidup di kota dengan simbol-simbol materi. 

Kita tak hendak mengadili motif orang mudik, tentu saja. Toh, semua nampak senang. Rakyat senang, pemerintah pun senang. Sejenak ketegangan politik pun reda, sebelum MK Kembali memulai persidangan.

Penulis: Edsa

Editor: Ismer

Berita Terkait

Copyright ©2024 Suara Purwokerto. All Rights Reserved

Version: 1.23.3 | Build ID: FHBRa1vRFd-dgFqX1RoWX