Budaya

KOLOM EDI SANTOSO

Senin, 8 April 2024 11.31

MAAF ARTIFISIAL

Idul fitri identik dengan kata ‘maaf’. Orang-orang saling mengucapkan kata maaf di hari raya itu. Sebuah tradisi yang baik tentu, karena di hari-hari biasa tak mudah untuk meminta maaf.

Tak mudah, karena pernyataan maaf merupakan deklarasi pernyataan bersalah atau khilaf. Pernyataan ini akan selalu berhadapan dengan ego kita yang selalu merasa benar. 

Sebaliknya juga, tak mudah memberikan maaf, apalagi bagi ‘korban’ yang sungguh-sungguh merasakan sakitnya tindakan si pelaku. Sakitnya tak hanya ‘di sini’, tapi ‘di sana-sini’.

Ungkapan maaf, dalam istilah John L. Austin—filsuf Bahasa dari Inggris, mestinya berdimensi performatif. Maksudnya, ini sejenis ujaran yang membawa konsekuensi tindakan. Serupa dengan pernyataan dalam ijab kabul atau peresmian sebuah gedung. Begitu kata-kata diucapkan, kondisinya tak lagi sama. Dari haram menjadi halal, dari belum resmi menjadi resmi.

Dengan memaafkan, kita merelakan dan mengikhlaskan rasa sakit, kecewa, atau marah. Mungkin tak hilang serta-merta, tetapi ada perunan tensi emosi yang selama ini mengganjal. Wajah yang semula tegang bisa tersenyum lagi.

Jadi, ada kesesuaian antara ucapan dan hati. Dengan kata lain, pernyataan maaf mestinya berkorelasi dengan tindakan. Misalnya, dari semula memalingkan muka, kini bisa berhadapan dengan senyuman. Dari awalnya enggan ketemu, kini bisa berjabat tangan.

Di zaman yang mengalami surplus pesan saat ini, ungkapan maaf seperti kehilangan sisi sakralnya. Saking banyaknya. Saking mudahnya. Dan saking beragam wujud pesannya. Dimensi performatif-nya kalah oleh sisi deklaratif-nya: bahwa maaf lebih pernyataan formal momen ketimbang pernyataan ketulusan hati.

Seperti di momen lebaran ini, ungkapan maaf lebih bermakna basa-basi seremonial. Bahwa begitulah semestinya sopan-santun di hari suci. Lazimnya orang di penghujung bulan Ramadhan, ya pantesnya mengirimkan pesan maaf ke semua relasi kita.

Di mulut para pesohor ungkapan ‘maaf’ juga lebih terasa sebagai pemanis bibir. Semata jadi konsumsi berita hiburan atau bahan konten media sosial. Ada artis, misalnya, yang mengaku sudah memberikan maaf bagi anaknya, tapi dia tak mau lagi ketemu dengannya. Bahkan, dia menegaskan sudah mencoret nama anaknya dari kartu keluarga.

Ungkapan maaf yang tak paralel dengan tindakan tak akan memperbaiki keadaan. Silaturahmi yang terputus tak akan bertaut lagi. Hati yang berjarak tak akan mendekat. 

Semoga semangat bersilaturahmi di hari idul fitri nanti semakin bermakna, ketika ribuan kata maaf yang terucap sungguh-sungguh keluar dari hati. Itulah maaf yang hakiki, bukan maaf artifisial.

Selamat Idul Fitri. Mohon maaf lahir dan bathin…

Penulis: Edsa

Editor: Ismer

Berita Terkait

Copyright ©2024 Suara Purwokerto. All Rights Reserved

Version: 1.23.3 | Build ID: FHBRa1vRFd-dgFqX1RoWX