Budaya

SOROTAN

Selasa, 2 April 2024 05.29

Pesan Di Balik Hampers

Idul Fitri hanya tinggal hitungan hari. Kesibukan persiapan lebaran meningkat berkali-kali. Beli baju baru, nukar uang baru, mengisi toples-toples dengan nastar, kastengel dan kue sagu. Beli daging, beli ayam, pesan ketupat dan semua bumbu-bumbu dan yang tidak boleh ketinggalan adalah bagi-bagi hampers dengan beragam isi dan bentuk.


Konsep hampers di Indonesia muncul belum lama, menggantikan parsel yang telah lebih dulu ada. Hampers berasal dari kata berbahasa Perancis “Hanapier” yang berarti keranjang anyaman, lebih banyak digunakan karena dipandang lebih terkesan unik dan mewah dibanding parsel biasa.  

Naiknya popularitas hampers dibanding parsel, memperlihatkan bahwa berbagi bingkisan saat lebaran ataupun perayaan keagamaan lain, bukanlah sekedar sebuah tindakan sosial maupun ritual keagamaan. Hampers adalah sebuah tanda yang berdiri untuk sesuatu yang lain. Ada pesan di balik hampers.

Jika Marshal McLuhan menyebut The Medium is the Message, maka hampers adalah media, hampers adalah pesan itu sendiri. Keunikan dan kemewahan yang dilekatkan pada sebuah hampers telah menegaskan pesan bahwa pada awalnya hampers itu tidak ditujukan untuk semua orang. Melalui hampers yang diberikan, para pemberi hampers menyatakan bahwa mereka tidak sama dengan orang kebanyakan yang membagikan parsel biasa. Melalui hampers yang diterima dan kemudian dikabarkan di akun sosial medianya, para penerima hampers bergembira karena mereka menjadi orang istimewa yang berbeda dari kebanyakan orang biasa.

Pierre Bourdieu, seorang sosiolog Prancis, dalam karyanya yang terkenal "Distinction: A Social Critique of the Judgment of Taste" menjelaskan bahwa konsumsi bukan hanya tentang memenuhi kebutuhan praktis, tetapi juga tentang mengekspresikan identitas sosial dan menjaga atau merubah kedudukan dalam hierarki sosial. Kelas atas akan cenderung menggunakan barang mewah untuk menegaskan status dan kelas mereka serta akan menjaga jarak dan tidak mau disamakan dengan kelas di bawahnya. Kelas menengah cenderung ingin menyerupai kelas atas untuk meningkatkan status sosial mereka, meskipun hanya mampu menggunakan barang yang seolah-olah sama, sementara kelas bawah karena akses yang terbatas terhadap sumber daya akan cenderung memiliki pola konsumsinya sendiri.

Kini hampers tinggal menunggu waktu untuk digantikan istilah baru yang lebih elegan, mewah dan berbeda sebagaimana dulu parsel hadir menggantikan paket sembako atau kiriman makanan rumahan dalam rantang. Sebelum waktu itu tiba, mari kita berbagi hampers, agar semua bisa lebaran dengan bahagia.

Penulis: Mite Setiansah

Editor: Ismer

Berita Terkait

Copyright ©2024 Suara Purwokerto. All Rights Reserved

Version: 1.23.3 | Build ID: FHBRa1vRFd-dgFqX1RoWX