Budaya

Situs Watu Lumpang Desa Kedungbenda Purbalingga

Senin, 30 Oktober 2017 22.47

Situs Watu Lumpang 
Desa  Kedungbenda
Kecamatan Kemangkon Purbalingga 

Mengunjungi Desa Kedungbenda belum lengkap jika belum mengunjungi Situs Komplek Panembahan Drona atau Lingga Yoni yang menyimpan benda -benda purbakala baik jaman pra sejarah-jaman Hindu sampai jaman sekarang ini

Situs Watu Lumpang letaknya berada di sebelah kiri Situs Lingga Yoni dalam satu komplek Situs Purbakala Panembahan Drona (Lingga -Yoni) sangat mudah dicari karena letaknya sebelah kiri jalan raya Grumbul Sokasada Desa  Kedungbenda kurang lebh 500 m dari Jembatan penghubung Kabupaten Banyumas dan Purbalingga yaitu Jembatan Lingga Mas  

Berdasarkan ciri dan bentuk situs Watu Lumpang dapat dikategorikan peninggalan pra sejarah zaman Batu Besar Megalitikum, di Pulau Jawa yang biasanya berada di pinggir sungai.

Sebuah benda peninggalan purbakala  yang sangat menarik untuk dikunjungi berupa Situs Watu Lumpang yang diperkirakan atau ditaksir kurang lebih berumur 3.931 tahun berdasarkan jenis batuanya.termasuk zaman Megalitikum


Kebudayaan Zaman Megalitikum


Megalitik berasal dari kata mega yang berarti besar dan lithos yang berarti batu, sehingga dapat diartikan sebagai batu besar (Soejono, 2010).
Menurut Von Heine Geldern, kebudayaan Megalithikum menyebar ke Indonesia melalui 2 gelombang yaitu :
1. Megalith Tua menyebar ke Indonesia pada zaman Neolithikum (2500-1500 SM) dibawa oleh pendukung Kebudayaan Kapak Persegi (Proto Melayu). Contoh bangunan Megalithikum adalah menhir, punden berundak-undak, Arca-arca Statis.
2. Megalith Muda menyebar ke Indonesia pada zaman perunggu (1000-100 SM) dibawa oleh pendukung Kebudayaan Dongson (Deutro Melayu). Contoh bangunan megalithnya adalah peti kubur batu, dolmen, waruga Sarkofagus dan arca-arca dinamis.
Manusia di zaman batu besar ini sudah dapat membuat dan menghasilkan kebudayaan yang terbuat dari batu besar, berkembang dari zaman Neolitikum sampai zaman Perunggu, dan kepercayaan utamanya adalah animisme. Dinamisme dan Toternisme.
Pengaruh kepercayaan animisme,Dinamisme,Toterniime  ini juga masih banyak di anut oleh masyarakat yang hidup di zaman modern ini, mungkin ini adalah salah satu pengaruh yang disebarkan oleh masyarakat di zaman megalitikum.

Makna Watu Lumpang Bagi Masyarakat Desa Kedungbenda 

Watu Lumpang meskipun peninggalan zaman pra sejarah atau protosejarah mempunyai makna sejarah yang sangat penting bagi masyarakat Desa Kedungbenda karena lintasan sejarah peradaban manusia Jawa terekam dengan jelas melalui benda-benda purbakala dan peninggalan sejarah generasi berikutnya.

Jika kita membedah dengan makna yang tersembunyi Watu Lumpang sebenarnya perubahan peradaban senantiasa tak bisa dilepaskan dari peninggalan nenek moyang kita yang telah memberi tanda,simbol dan isyarat yang selalu berkaitan dengan periode generasi masa lalu dan terus akan berkelanjutan dalam panggung sejarah dalam sebuah drama kehidupan dengan pemain pemain yang berbeda beda setiap zamannya.

Watu Lumpang bukan sekedar benda mati berujud batu dari zaman Megalitikum .Ia mengandung pesan pesan yang sangat penting memberi gamabran tentang kondisi dan potensi alam dan sekitarnya baik dari sisi arkeologi,geologi,geografi,klimatiologi,demografi ,sejarah,kekuasaan dan aspek kehidupan manusia lainnya

Bentuk fisik Situs Watu Lumpang berukuran kurang panjang 80 cm,lebar 80 cm dan tinggi 80 cm ,pada permukaan atasnya terdapat lobang kecil .Pada sebagian atas berbentuk kotak sedangkan bagian bawah lancip kebawah.

Lubang yang berada pada bagian tengah  Watu Lumpang tergolong kecil dibandingkan dengan Situs Watu Lumpang yang terdapat di Grumbul Ragung Desa Sambirata Kecamatan Cilongok Banyumas.

Secara umum lubang berbentuk cekung setengah lingkaran yang ada pada Watu Lumpang pada zaman Megalitikum pada bagian tengahnya sangat berbeda-beda,

Ada yang besar,sedang  dan kecil ,menjadi salah satu pertanda bahwa di sebuah daerah tersebut sumber air mudah didapat dan melimpah ruah atau sebaliknya suatu daerah kesulitan sumber mata airnya.

Watu Lumpang di Kedungbenda berdasarkan bentuk ,ukuran maupun lobang ditengahnya memberi petanda atau simbol bahwa wilayah desa Kedungbenda sangat kesulitan air karena letaknya tanahnya diatas dua Sungai besar yang mengitarinya yaitu Sungai Klawing dan Sungai Serayu.

Pertemuan Sungai Serayu dan Sengai Klawing digambarkan sangat jelas melalui vusualisasi bagian bawah watu lumpang yang lancip segi tiga menggambarkan "Tempuran Congot" atau Campuhan Congot 

Berdasarkan fakta dilapangan ternyata sejak jaman dahulu Desa Kedungbenda kesulitan air baik untuk kehidupan sehari hari maupun untuk pertanian sepanjang waktu apalagi jika musim kemarau.

Salah satu usaha masyarakat Desa Kedungbenda untuk memperoleh air untuk kebutuhan sehari haria  dengan cara memuat sumur baik sumur konvensional,sumur bor dan jet pump .

Bila kita meneliti dan mengamati secara cermat makna yang terkandung dari Situs Watu Lumpang semakin mengerti dan memahami betapa leluhur kita telah mempunyai cara pandang tentang lingkungan alam dan sekiatrnya dan memberi tanda untuk generasi berikutnya,dalam membangun peradaban.sesaui dengan jamannya tanpa meninggakn jejak sejarah leluhurnya.

Konsep pembangunan telah ditata rapi ,teliti ,cermat dan sangat memandang jauh ke masa depan yang akan datang .dengan membangun "Masterplan "perkembangan,pertumbuhan dan  pembangunan sebuah masyarakat.yang kita kenal pada zaman modern dengan istilah One Viilagge One Product"

Jika kita mau jujur menggali konsep yang ditinggal nenek moyang leluhur kita, maka tangga (stage) pembangunan sebuah masyarakat atau desa tak perlu susah payah meniru negara lain bahkan mengocpy paste kemudian diterapkan dienagara kita padahal tidak sesuai dengan kondisi sosial,ekonomi,geografi,demografi dan aspek lainnya . 

Sangat aneh kalau Watu Lumpang kemudian dihancurkan ,dibuang,dicuri atau dianggap benda yang bertentangan nilai-nilai keyakinan dan keagamaan dengan cara pandang sempit tanpa melihat secara keseluruhan jejak sejarah anak manusia sejak jaman purbakala yang menjadi cikal bakal peradaban generasi berikutnya.

Karangnangka 29 Oktober 2017

Mulyono Harsosuwito Putra 
Ketua Institut Studi Pedesaan dan Kawasan

Penulis: Kang Mul

Editor:

Berita Terkait

Copyright ©2024 Suara Purwokerto. All Rights Reserved

Version: 1.23.3 | Build ID: FHBRa1vRFd-dgFqX1RoWX