Lingkar Banyumas

Mengenang Kiai Muzni, Ulama Sepuh dari Karangcengis

Minggu, 14 November 2021 04.03

Mengenang Kiai Muzni, Ulama Sepuh dari Karangcengis

Suara Purwokerto - Suatu hari, tepatnya Sabtu Pon tanggal 10 Maret 2012, saya bertandang ke kediaman Kiai Hayatul Maki (Gus Hayat) di Desa Cikembulan Kecamatan Pekuncen. Ada catatan kecil yang tercecer dari silaturahmi saya waktu itu: kisah seputar almarhum KH Muzni Karangcengis, yang juga kakek Gus Hayat.
Semasa mudanya, menurut penuturan Gus Hayat, sang kakek (Kiai Muzni) sempat mondok di sejumlah pesantren. Antara lain di Pesantren Leler (KH Zuhdi), Pesantren Lirap (KH Ibrahim), dan Pesantren Tremas (KH Dimyati). Dalam wirid tarekat, Kiai Muzni berbaiat kepada KH Maruf Solo.
Semasa hidupnya, Kiai Muzni menghelat pengajian rutin Rabu pagi di Karangcengis Lesmana. Materi kajian yang dihelatnya meliputi Tafsir Jalalain, Tafsir Ibriz, Iqlil dan pembahasan fiqh.
Almarhum Kiai Muzni tercatat empat kali menikah. Pertama dengan putri KH Ibrahim Lirap; kedua dengan Nyai Maryam binti Kiai Abdul Halim (Kober); ketiga dengan Nyai Muslihah (Lambar Karangklesem); keempat dengan dengan Nyai Fatimah, menurunkan Khadijah - H Fatoni (Penjahit Sempurna).
Adapun dari istri kedua (?), Kiai Muzni dikaruniai tujuh orang anak. Ketujuh anak beliau diberinya nama dengan inisial M, yakni: (1) Hafsoh, (2) Hamdah, (3) Habib alias Mahbub Cibangkong, (4) Habibah, (5) Hamidah alias Nur Hamidah, (6) Habrun, dan (7) Hanah.
Dari putri keduanya, Hamdah, antara lain menurunkan Hayatul Maki (Gus Hayat).
Kiai Muzni bin KH Abdullah Muchtar adalah sosok ulama sepuh yang menjadi jujugan sekaligus rujukan. Boleh dibilang, beliau adalah tempat konsultasi umat pada zamannya. Salah satu kesukaan beliau adalah memberikan ijazah sholawat.
Saya menyaksikan dengan mata kepala sendiri, Kiai Muzni melayani tamu (mengambil ceret, membawa gelas-gelas, dan menyajikan minum untuk tamunya) sering kali dilakukan sendiri. Padahal, usia beliau sudah terbilang uzur (baca: sepuh) waktu itu.
Bahkan, untuk ijazah doa bagi tamu-tamu yang memintanya beliau tulis dengan tangan beliau sendiri. Kertas ukuran folio yang dipotong menjadi dua beliau taruh di atas meja, di balik taplak meja plastik. Sesekali ada tamu datang dan meminta ijazah doa, beliau ambil kertas putih itu dan ditulisnya untuk sang tamu. Demikian seterusnya.
Sosok empat sekawan yang sering berkumpul pada masanya adalah: KH Abdul Malik Kedungparuk, KH Sodik Pasiraja, KH Nuh Pageraji, dan KH Muzni Karangcengis.
Sehari sebelum ke tempat Gus Hayat, tepatnya Jumat Pahing sore tanggal 9 Maret 2012, saya sowan KH Marchum bin KH Nuh di Pageraji. Bahkan, saya memperoleh pinjaman foto Almarhum KH Nuh untuk saya scan dari beliau Kiai Marchum.
Menurut KH Marchum, semasa kecil KH Nuh belajar di Makkah. Kemudian pulang ke Tanah Air, melanjutkan belajar di Pesantren Krapyak dan Pesantren Tremas. Sewaktu nyantri di Krapyak, Kiai Nuh muda dipercaya sebagai bendahara KH Munawir.
Putera KH Nuh yang hidup hingga dewasa ada sepuluh orang. Apabila KH Muzni Karangcengis menamai anak-anaknya dengan inisial H, adapun KH Nuh menamai anak-anaknya dengan inisial M.
Konon, putra Kiai Nuh yang pertama adalah Makmur. Adapun data yang ada pada catatan saya adalah nama putra ke-9 dan ke-10, yakni KH Marchum dan Marhub. Setelah menikah, nama Marhub diganti menjadi Mahbub. Uniknya, nama baru ini diberikan oleh KH Muzni Karangcengis. 

Penulis: Akhmad Saefudin SS ME

Editor: Parsito Tommy

Berita Terkait

Copyright ©2024 Suara Purwokerto. All Rights Reserved

Version: 1.23.3 | Build ID: FHBRa1vRFd-dgFqX1RoWX